rendah diri seorang ulama besar
Kesah Syeikh Tantawi dengan Hassan Al-Banna:
Kata Ustadz Abdul Halim, ketika beliau sedang menulis rencana di pejabat Ikhwanul Muslimin, saat itu beliau sedang sendirian, datanglah syekh Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul Halim sempat berharap dapat bertemu langsung dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus, dan Al Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.Syekh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis puisi yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”.
Puisi itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan beliau kemudian meminta ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan sekolah teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca sya’ir, kemudian membaca sya’ir itu. Kata syekh Thanthawi: “Bukan begitu cara membaca sya’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada tempat-tempat yang keliru saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru, akan tetapi bukan begitu cara membaca sya’ir”.
Kemudian syekh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil sya’irnya, seandainya sya’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, sya’ir itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara membacanya dengan demikian indahnya.Kemudian syekh Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini memerlukan riyadhah (latihan), sebagaimana fisikal itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang memiliki tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi).
Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya kira tidak ada wahai syekh!”.Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu adalah kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah swt dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah swt untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman, hingga da’wah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka untuk mengembangnya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya (tidak boleh jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka lebih tinggi dari Ahlul Kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak dapat dipelajari, sedangkan ilmu ahlil hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga akhir zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb adalah para rasul, nabi Musa as (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul kasyf), sebab nabi Musa as termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya.
Demikian pula dengan nabi Sulaiman as, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: “Siapa yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka datang ke sini? Berkata salah satu jin Ifrit: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif namanya: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Meskipun ilmu ahli kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman as, akan tetapi kedudukan nabi Sulaiman tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dll. Diantara mereka yang lain adalah kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.Dijawab: “Ya”.Ditanya lagi: “Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”Jawab Thanthawi: “Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku duduk bersamanya, aku tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Serupa seperti orang lain yang pernah aku jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang kepada Al Qur’an”. Maka aku katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku berdakwah kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam da’wah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan detail tentang da’wah yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan!
Kemudian ia menerangkan da’wahnya dan aku dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul saw”. Diceritakan pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Hasan Al Banna. Hassan Al-Banna bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam da’wah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”. Ia dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meremehkannya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang ketua redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya !”.
credit to us. salam
Kata Ustadz Abdul Halim, ketika beliau sedang menulis rencana di pejabat Ikhwanul Muslimin, saat itu beliau sedang sendirian, datanglah syekh Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul Halim sempat berharap dapat bertemu langsung dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus, dan Al Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.Syekh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis puisi yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”.
Puisi itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan beliau kemudian meminta ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan sekolah teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca sya’ir, kemudian membaca sya’ir itu. Kata syekh Thanthawi: “Bukan begitu cara membaca sya’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada tempat-tempat yang keliru saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru, akan tetapi bukan begitu cara membaca sya’ir”.
Kemudian syekh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil sya’irnya, seandainya sya’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, sya’ir itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara membacanya dengan demikian indahnya.Kemudian syekh Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini memerlukan riyadhah (latihan), sebagaimana fisikal itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang memiliki tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi).
Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya kira tidak ada wahai syekh!”.Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu adalah kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah swt dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah swt untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman, hingga da’wah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka untuk mengembangnya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya (tidak boleh jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka lebih tinggi dari Ahlul Kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak dapat dipelajari, sedangkan ilmu ahlil hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga akhir zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb adalah para rasul, nabi Musa as (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul kasyf), sebab nabi Musa as termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya.
Demikian pula dengan nabi Sulaiman as, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: “Siapa yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka datang ke sini? Berkata salah satu jin Ifrit: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif namanya: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Meskipun ilmu ahli kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman as, akan tetapi kedudukan nabi Sulaiman tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dll. Diantara mereka yang lain adalah kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.Dijawab: “Ya”.Ditanya lagi: “Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”Jawab Thanthawi: “Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku duduk bersamanya, aku tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Serupa seperti orang lain yang pernah aku jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang kepada Al Qur’an”. Maka aku katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku berdakwah kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam da’wah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan detail tentang da’wah yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan!
Kemudian ia menerangkan da’wahnya dan aku dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul saw”. Diceritakan pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Hasan Al Banna. Hassan Al-Banna bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam da’wah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”. Ia dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meremehkannya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang ketua redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya !”.
credit to us. salam
Comments